Tuesday, June 8, 2010

begini rasanya

13.47 WIB

Semangat 45 ala ala pejuang kemerdekaan mendadak menyelimuti gue
Adrenalin mengalir sederas gerombolan air yang menjebol bendungan
Pagi ini setumpuk kertas-kertas penentu kehidupan gue, akan gue serahkan
Ya, hari ini. Jangan ditunda lagi. Tolong!
Dengan bekal niat, sarapan mie instan, dan uang seadanya, kaki ini melangkah
Keluar dari rumah.
Keluar dari tempat berbulan-bulan ini kertas tadi disimpan
Digarap, disimpan, untungnya tidak disemayamkan.

Perjalanan cukup lancar
Jakarta.
Sepertinya prinsip 'niat baik berbuah baik' berlaku
Terimakasih untuk menyediakan jalur yang tidak padat
Kendaran bermotorpun nampak bersahabat
Semuanya seperti tunduk pada skenario
Semua menjalani perannya
Mereka tau kapan harus menyalip mobil gue, kapan harus memberikan gue jalan
Perfect!

Mr.Radio..
Apapun lagumu pagi ini, tidak akan menandingi lagu yang ada di kepala gue
Lagu lama.
Judulnya : nerves alias deg-deg-an, penyanyi : GUE.
Semakin dekat ke kampus, makin engga menentu
Semangat pejuang tadi sudah bukan 45, entah berapa nominalnya
Ayolah pejuang, bangkitlah. Tancapkan bambu runcingmu di pusat otakku
Tidak ada rasanya.
Bahkan tidak sakit sekalipun.
Bagaimana kompeni-kompeni itu bisa mati atau setidaknya kesakitan??
Gue tau. Gue yang salah.
Gue mati rasa.
Berlebihan? Bebas. Ini adalah kerja sama otak & jari gue.
Kritik saja. Mungkin itu lebih tajam dari bambu runcing.
Hingga gue bisa merasa lebih hidup dan bangkit lagi

Langkah gontai.
Bukan karena lelah, hanya sedikit mengatur nafas.
Mengatur perasaan yang sempat membuat blokade-blokade sendiri.
Baiklah. Sudah.
Gue beranikan untuk memasuki ruangan dosen sakti mandra guna.
Dosen pembimbing.
Ibu dengan gelar DR di depannya dan diakhiri dengan M.Si dibelakangnya
Perawakannya sederhana, namun ia kaya akan ilmu
Beliau bukan sekedar dosen di mata gue yang berjumlah 4 ini
Beliau tempat bertukar pikiran tentang sebuah dunia
Dunia media.
Itulah satu-satunya dunia di mana gue dan Beliau bisa berbincang dengan durasi cukup panjang.

Beliau tersenyum.
Beliau tau, gue akan mengurangi sedikit bebannya.
Paling tidak, satu dari beberapa murid yang dibimbingnya, menunjukan kemajuan
Gue tersenyum.
Satu kalimat Beliau lontarkan dengan paras teduhnya
'Akhirnya.. Selesai juga ya.. Apa yang kamu rasa?'
Gue tersenyum. Memutar otak. Berusaha berkomunikasi dengan hati.
Mencari jawaban. Menerka. Apa yang gue rasa.
Mulut ini tidak bisa kompromi. Asal ceplos.
'Excited banget, Bu!!'
Lalu gue diam. Memukul diri sendiri dengan mode tangan invisible.
Beberapa saat perbincangan hangat terjadi.
Terjadi begitu saja.
Kami tak lagi bicarakan skripsi.
Beliau menanyakan apa langkah gue selanjutnya.
Gue tersenyum. Kali ini tak perlu berkomunikasi dengan organ lainnya.
Bekerja.
Satu jawaban pasti, singkat, dan apa adanya.

Birokrasi pengumpulan pun tak merepotkan
Mendadak gue menjadi orang super prepare
Semua fotocopy berkas ternyata ada di mobil
Benar-benar para aktor dan aktris ini menaati skenario
Daaaan akhirnya....
Resmi dikumpulkan.
Lega. Seperti habis makan perment mint pelega tenggorokan.
Rasanya bisa berjalan dengan beban yang berangsur mengecil
Enak.
Mengapa tidak dari dulu saja bila tau rasanya seperti ini.

Namun, ini masih setengah perjalanan
Badai besar di depan sana masih harus dihadapi, kapten.
Bersiaplah.
Semua awak kabin sampai detik ini terus mendampingi
Namun hanya kaptenlah yang akan maju untuk membuat keputusan
Keputusan mau diarahkan ke mana perahu ini.

No comments:

Post a Comment